Mengapa Julukan Kota Batik di Pekalongan
PEKALONGAN MEDIA, KOTA - Ketika kita berjalan melewati banyak gang di Pekalongan, bau malam yang harum akan masuk ke hidung kita. Pantaslah kota ini menyandang nama besar sebagai Kota Batik. Mungkin itu menjadi salah satu alasan mengapa julukan kota Batik di Pekalongan.
“Pekalongan tanpa industri batik bukanlah Pekalongan” kata Raden Mas Utaryo, seorang kontrolir keuangan pusat pada zaman Belanda yang dikutip oleh Kat Angelino di dalam buku laporannya tentang industri batik di Pekalongan.
Abad XIX Pekalongan Penghasil Batik Ketiga Terbesar di Hindia Belanda
Van Der Chis pernah berkata, tahun 1860 sebenarnya batik masih menjadi kerajinan rumah tangga bersama dengan ukir kayu. Sarung batik waktu itu diproduksi di Solo, Lasem, Pekalongan, dan Indramayu.
Menurut William J.O. Malley, tahun 1840 sampai dengan zaman lesu ekonomi atau familiar disebut malaise di tahun 1930, industri Jawa terpusat di daerah pantura, seperti Cirebon, Semarang, Pasuruan, dan Pekalongan. Di sinilah pabrik gula mulai tumbuh di Wonopringgo, Tirto, Kalimati, Sragi, dan Comal.
Di Pekalongan, jalur kereta api juga dibangun sebagai sarana transportasi antarkota. Dengan kemudahan transportasi, barulah menjelang abad XIX Pekalongan terkenal menjadi penghasil batik ketiga terbesar di Hindia Belanda.
Berbagai aktivitas ekonomi terkait batik hadir di sini, seperti industri batik, perdagangan batik, alat batik, bahan batik. Pasar malam tahunan juga mulai ada untuk menarik pembeli batik dari luar pulau.
Toponimi, Alasan Mengapa Julukan Kota Batik di Pekalongan
Pada tahun 1850, Pekalongan dijuluki lagi sebagai kota batik sebab kegiatan batik dari membatik, menjemur, menjual, dan mengangkut berlangsung sepanjang hari dari pagi hingga malam. Di tahun ini pula batik dijual ke semua karesidenan di Jawa, dikirim ke Kalimantan dan Jambi, serta diekspor pula ke Eropa, Amerika dan Hindia Barat.
Toponimi (penamaan tempat) di Pekalongan banyak yang terpengaruh istilah batik seperti Ponolawen (lawen=benang, penjualan benang atau bahan batik) dan Sorogenen (kayu bahan bakar untuk batik) yang dijabarkan oleh Kusmin Asa.
Beberapa daerah lain juga merupakan istilah batik, seperti Pasunginan (tempat menggambar atau menyalin sketsa batik) di daerah Krapyak, Ngabangan (tempat mewarna merah) di Klego, dan Medelan (tempat mewarna biru indigo) di Sampangan, Jalan Hayam Wuruk.
Tumpuan Ekonomi, Alasan Mengapa Julukan Kota Batik di Pekalongan
Pada awal tahun 1950-an, kurang lebih 60.000 orang penduduk Kota Pekalongan memiliki pencaharian dari industri batik atau sebanyak dua pertiga penduduknya berpencaharian membatik.
Masyarakat bercerita, “Orang-orang zaman itu mengantri meskipun batik masih basah sedang dijemur”. Ini sebab pilihan tekstil tidak begitu banyak saat itu dan masyarakat masih memahami batik.
Usaha batik pun meluas ke ibukota distrik seperti Wiradesa, Kedungwuni, Buaran, dan Wonopringgo dengan juragannya adalah orang kota. Dikabarkan dalam tulisan “Perusahaan Batik Di Pekalongan” oleh Pewarta Soerabaia, tanggal 17 Mei 1938 bahwa pribumi di antara etnis lain hanya menjadi pembatik atau pengusaha kecil-kecilan saja.
Pedagang Pekalongan mempunyai pesaing tengkulak dari Padang, Mandailing, Banjarmasin, dan seterusnya. Para pesaing itu bermukim kemudian mengirimkan kain ke asal mereka. Pemborong dan tengkulak batik memiliki mata-mata, tengkulak asing juga mempunyai tenaga tukang kir, ahli kualitas batik. Sementara itu, konsumen batik besar berasal dari Padang, Belawan-Deli, Medan, Palembang, Singapura, dan Penang dengan konsep retur jika ada yang cacat produksi.
Industri Batik Berkembang, Alasan Mengapa Kota Batik di Pekaongan
Mengutip Veldhuisen di buku Batik Belanda, berdasarkan data laporan industri di Hindia Belanda pada tahun 1870, batik cap paling banyak ada di Surakarta (331), Surabaya (129), Pekalongan (103), dan Yogyakarta (100).
Sementara berdasarkan laporan di tahun 1955, tercacat industri batik banyak ditemukan di Surakarta (225), Pekalongan (113), Yogyakarta (69), Surabaya (53), dan Rembang (33). Semua kota terjadi penurunan kecuali Pekalongan karena saat Perang Dunia I (1914—1918), impor katun twente dari Belanda terhenti.
Pada masa ini, para pembatik atau yang disebut pengobeng menginap di tempat kerja dengan istilah lurugan atau bara, berasal dari sepanjang pantura: Tegal, Pemalang, Comal, Ulujami.
Wanita dari luar Pekalongan kebanyakan berasal dari Tegal dengan tujuan utamanya meringankan beban suami (dijelaskan oleh MJ De Raadt Apell di bukunya De batik kerij van Zuylen te Pekalongan. Juragan batik sendiri dengan senang hati akan menerima pasangan suami istri untuk bekerja di perusahaannya karena menguntungkan.
Akan tetapi, industrialisasi dan mobilitas manusia juga membawa sisi kelam. Kat Angelino bercerita, dulu terdapat pengobeng yang menjadi pelacur di bioskop sepanjang Hotel Jawa sampai Heerenstraat.
Pada kelesuan ekonomi atau malaise tahun 1930, para wanita pemborong yang mempekerjakan wanita sebagai pembatik di rumahnya mengalami perdagangan yang buruk dan ada yang menjadikan rumahnya sebagai rumah kencan atau rumah bordil di Pekalongan.
Pengobeng menjadi pelacur sehingga ada ungkapan di Pekalongan“golek pengobeng”yang artinya ‘mencari pelacur di jalanan’. Tahun 1930, mereka dirazia dan kemudian pindah ke tempat lain.
Salah satu alasan batik Pekalongan bertahan adalah karena diwariskan antargenerasi. Pewarisan organisasi ekonomi batik menggunakan cara tradisional, turun temurun dan bersifat kekeluargaan.
Para pengusaha yang telah mengenal batik sejak dini kemudian terpisah dari orang tuanya ketika sudah dewasa. Peralihan generasi ini juga mengalihkan SDM dan vendor batik ke generasi mudanya.
Pekalongan bertahan dari pasang surut batik juga karena pengusaha Pekalongan mampu membuat batik dengan selera pasar. Kita bisa melihat kilas balik ketika batik Surakarta dan Solo terpukul keras di pasaran di tahun 1950-an padahal mereka memiliki sejarah panjang.
Sebab batik Surakarta dan Solo disaingi oleh batik buatan Jakarta dan Pekalongan dan pergeseran selera warna pada konsumen kebanyakan. Orang-orang modern menganggap batik warna-warni lebih maju.
Akhirnya, mereka gulung tikar sebab kalah dari persaingan. Ini juga indikasi dampak masyarakat umum tidak mengerti sejarah batik. Banyak motif batik baru lahir di Pekalongan dan namanya menarik pasaran, seperti gadis bali, putri irian, taruna purba, sirikit, sirikit baru, rindu malam, bunga sakura, mahkota, mahkota bunga, gembira ria, tikora, benhur, michico, coca cola, usdek, srilangka, serampang, sayonara, nurlaila, jamila, dan mustika.
Penamaan motif tersebut berbeda dengan penjualan batik Jogja dan Solo yang tidak mengedukasi masyarakat dengan menyebut nama motif.
Motif lain yang ada di Pekalongan termasuk luciana kelir, lokananta kelir, mlati bali kelir, tribusono, dan demakan tulis.
Perihal Demakan dan Kudus, para pengusaha Pekalongan secara ekspansif memasarkan produk mereka di sana. Pada produksi batik masal, standar pasar batik Pekalongan adalah untuk kalangan bawah sehingga banyak menjangkau segmen-segmen konsumen sehingga batik pekalongan lebih murah dari kota lain.
Penulis : Nushalima - Kontributor Pekalongan Media
Belum ada Komentar
Posting Komentar